Dhini & Boy
Cerita Dhini & Boy : IVF (Bayi Tabung) di Alpha Fertility Centre
Aku menikah dengan sahabatku di tahun 2008. Alhamdulillah pernikahan kami bahagia tanpa drama yang berarti. 1 tahun ..2 tahun tahun berlalu kami belum juga dikaruniai anak oleh Allah.
Kami masih santai dan tidak ambil pusing dengan pandangan atau omongan orang lain. Instead kami menikmati kehidupan kami sebagai couple, karena di 7 tahun hubungan pacaran kami banyak habiskan dengan LDR.
The Start of Our TTC Journey
Tahun ke 3 kami mulai serius untuk memiliki anak. Tahun ke 4 kami belum juga berhasil hamil, kami putuskan untuk konsultasi dengan dokter fertility. Upaya pertama kami lakukan dengan Program Inseminasi Buatan.
Inseminasi Buatan ke 1 : Positif Hamil. Aku masih ingat ketika dengan excitednya memberikan amplop Prodia sebagai surprise pada saat perayaan ulang tahun papa. Papa pikir aku kasih voucher General Check Up. Sambil Cemberut buka amplop yang isinya hasil kehamilaku. Semua berteriak senang saat tau isi dari amplop itu, mama papa memeluk dan menciumku di tengah-tengah keramaian restaurant. We were over the moon.
Tapi di minggu ke 6 aku terbangun krn sakit yang hebat di perut. I was bleeding…dilarikan ke UGD. Aku keguguran. Saat itu rasanya hancur banget.
Kami tidak menyerah dan mencoba lagi dengan Inseminasi ke 2 namun gagal. Inseminasi ke 3 juga berakhir gagal.
Program IVF Pertama
Tp 6 bulan sejak kegagalan Inseminasi terkahir, tepatnya tahun 2015 semangat baru kami mulai tumbuh kembali. Kami memutuskan untuk memulai dengan program IVF kami yang pertama.
Dengan persentase keberhasilan yang lebih tinggi dari Inseminasi kami merasa lebih optimis. Pil-pil obat, perut lebam-lebam dari suntik hormone setiap malam kami lalui dengan semangat dan harapan baru.
Proses Ovum Pick Up (OPU) yang buat sebagian orang berjalan biasa-biasa saja, tp tidak dengan aku. Aku kena Ovarium Hyper Stimulation Syndrome (OHSS), salah satu side efek yang banyak terjadi pada penderita PCOS.
It was so painful, even untuk nafas dan sekedar memiringkan badan, aku bahkan gak bisa tidur terlentang di tempat tidur krn sesak, rasanya sakit luar biasa.
Tapi itupun kami jalani dengan tetap positif, karena dari OPU ini kami berhasil mengumpulkan banyak telur. Dari 15 embrio yang berhasil dikawinkan, 6 diantaranya mencapai blastosyst (grade terbaik untuk embiro).
IVF pertama, 2 embrio dimasukan ke dalam rahimku. Kami sangat optimis, dan setelah menunggu 2 minggu setelah embryo transfer, test lab menunjukan bahwa kami positif hamil.
Alhamdulillah…kami senang dan optimis. Keluarga dan rekan kantor kami luar biasa supportive dan ikut menjaga kehamilanku. Aku tidak boleh capek, tidak nyetir, disediakan makan yang sehat you name it lah.
Tapi Allah berkehendak lain, aku kembali keguguran di minggu ke-10. I was beyond sad, dan menyalahkan, mempertanyakan diri sendiri…apa yang salah, apa yang belum aku lakuin, kenapa bisa gugur pada saat orang lain yang dengan kualitas embrio sedang bisa melahirkan bayi sehat sementara aku punya blastosyst kenapa gak bisa?.
Kepercayaan diriku mulai goyah…bisakah aku jadi ibu? Apa aku gak ditakdirkan buat punya anak?
Program IVF Kedua
Berkat semangat dari suami dan keluargaku, kami memulai program kembali 6 bulan setelahnya. Kali ini kami melakukan Frozen Embryo Transfer (FET) dari 4 Embryo blastocsyt IVF kemarin.
Kali ini aku mempersiapkan diri lebih matang, makan sehat, olah raga tiap hari, akupuntur, hypnotherapy, cuti kerja untuk focus pada program ini. Aku pikir harus belajar dari pengalaman sebelumnya dan lebih maksimal dalam mempersiapkan ini.
Kami kembali memasukkan 2 embryo dan melakukan full bed rest untuk menjaga kehamilanku.
Alhamdulillah aku dinyatakan positif tp tetap was was akan keguguran lagi. Walaupun bosan setengah mati karena bed rest di kamar tp somehow aku ngerasa hopeful.
2 minggu berlalu..4…6..8..10 minggu berlalu setiap pemeriksaan baby dinyatakan tumbuh sehat. Di setiap pemeriksaan dokter mama papa dan keluarga selalu langsung minta laporan hasil pemeriksaan. Pada saat dokter bilang “all is well” semua seperti melepaskan nafas yang tertahan lama…lega.
Dokter merekomendasikan kami untuk melakukan USG 4D dengan Dokter ahli…yeaaay akhirnya kami bakal bisa melihat baby dengan lebih jelas. Hari itu minggu ke 11 kami datang dengan happy, excited, deg-degan campur aduk. Aku tau masih terlalu awal, tp tetep udah mikir-mikir “laki atau perempuan ya?? bisa keliatan belum ya mirip siapa?” hehe.
Dokter cek menyeluruh, jari lengkap, organ tubuh dalam lengkap, belum bisa liat jelas wajahnya, tp “monas”nya udah ketauan..bayi kami laki-laki!! Senangnya. Dokter lanjut pemeriksaan detail dan tiba-tiba terdiam dan serius.
Kami duduk untuk mendengarkan penjelasan dokter. Dia menyatakan kalau berdasarkan pemeriksaan tadi ada kemungkinan besar kalau bayi kami memiliki beberapa kelainan. Ketebalan cairan di tengkuk bayi kami abnormal, begitu juga beberapa pemeriksaan lain.
Bayi kami kemungkinan besar akan lahir dengan beberapa kelainan seperti Down Syndrome, Edward Syndrom dan Patau Syndrom. Fungsi jantungnya pun buruk. Tapi ini masih perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk mengkorfirmasinya, dan menyarankan beberapa alternative untuk dicoba di 2 minggu kedepan.
Senyum kami seketika lenyap. Aku cuma bisa diam, gak bisa lagi mendengar apa saja yang disampaikan dokter.
Our World Crashed
Aku ingat berjalan hampa ke parkiran mobil, dan baru bisa menangis histeris di dalam mobil. HP kami terus berdering dari keluarga yang menelpon untuk menanyakan hasil pemeriksaan seperti biasanya. Tapi kami tak kuasa untuk menerima telpon atau mengabarkan hasil pemeriksaan. Aku terlalu syok.
Instead, kami telpon Obgyn kami. Kami sedikit tenang ketika dia bilang hasil pemeriksaan 4D akurasinya tidak tinggi dan harus dipastikan dengan pemeriksanaan lanjutan. Ada beberapa kasus yang false juga.
Kami pulang dengan keadaan lemas tapi dengan sedikit harapan bahwa hasilnya bisa saja false. Kami memutuskan untuk mencari second opinion sembari menunggu jadwal pemeriksaan NIPT.
Selanjutnya aku sibuk browsing, mencari secercah harapan kalau hasilnya false dan kalaupun betul things tidak akan begitu buruk.
Tapi yang aku temukan adalah bagaimana anak tidak akan bertahan hidup lama, dalam setahun pertamanya kemungkinan akan mengalami beberapa operasi akibat perburukan jantung, dan kemungkinan dalam keadaan vegetative (terjaga tapi tidak menunjukan tanda kesadaran).
Second opinion kami juga menunjukan kesimpulan yang sama.
Rasanya hancur, bingung, sedih. Aku menangis setiap malam, setiap saat di minggu itu…rasanya belum pernah sesakit ini seumur hidupku.
Making a Choice
By that time keluarga kami sudah tau dengan kondisi kehamilanku. Dan seiring dengan umur kehamilanku yang makin besar…aku harus membuat keputusan apakah akan mempertahankan atau menggugurkan kandunganku.
Beberapa keluarga insist aku untuk mempertahankan baby aku karena bagaimanapun ini pemberian Allah dan akan sangat berdosa untuk menggugurkan anak, itu sama saja membunuh.
Beberapa keluarga yang lain insist untuk aku menggugurkan kandungan, karena akan kasihan dengan kondisi bayi jika dilahirkan, akan menjadi beban dan malu bagi keluarga.
Saat itu rasanya aku sedih, takut, marah, kecewa dengan semua orang. Apa mereka tidak pertimbangkan bagaimana perasaan aku saat itu? Ini tubuhku, bayiku. Adakah yang bertanya “bagaimana dhini maunya?”
Kalau aku menggugurkan kandungan ini, siapa yang akan menanggung dosa nya? Kan bukan mereka tapi aku.
Siapa yang akan sedih melepaskan?? Aku bukan mereka.
Bagaimana kalau ini satu-satunya kesempatan aku menjadi ibu, bagaimana kalau tidak ada kesempatan lain? Harusnya aku ambil kesempatan ini bagaimanapun ini pemberian Allah
Kalau aku pertahankan dan lahirkan bayi ini? Sanggupkah aku merawat anak ini dengan segala permasalahan kesehatannya? Siapa yang akan merawat anak ini? Aku bukan mereka.
Apakah dengan melahirkannya aku menjadi egois karena ingin jadi ibu? Anak ini akan banyak menderita, siapa yang akan melihat penderitaan itu? Aku bukan mereka
Saat itu aku rasanya sedih, bingung, kecewa dan marah. Marah dan kecewa dengan keluargaku yang masing-masing sibuk memaksakan sarannya. Marah dengan diri sendiri, apa lagi yang belum aku lakukan, apa yang salah, apa yang kurang?. Bahkan rasanya marah kepada Allah.
Aku menutup diri dan tidak keluar kamar selama 10 hari.
Surrendering to God
Tapi untungnya aku segera disadarkan bahwa hanya kepada Allah aku bisa meminta pertolongan, dan ditengah kebingunganku hanya Allah yang tau apa yang terbaik bagi aku.
Di ujung kebinguganku, aku ingat berdoa “Ya Allah seandainya memang anak ini adalah takdirku, maka kuatkanlah dia dalam kandunganku, sehatkan lah dia, lancarkanlah kehamilanku, akan aku lahirkan dan besarkan anak ini dengan sepenuh cinta, apapun tantangannya kedepan.
Tapi ya Allah, kalau memang anak ini bukan takdirku atau akan menderita di dunia ini, maka angkatlah dia ke pangkuanMu ya Allah. Karena hanya Engkau Maha Pencipta yang memiliki kuasa atas hidupnya. Aku ikhlas”.
Sesekali aku juga suka mengelus perutku sambil mengajak bicara baby..”Tumbuh sehat dan berjuang didalam yah sayang..mama gak sabar nanti kamu lahir mama yang akan rawat kamu. Tapi kalau memang kamu udah gak kuat, mama ikhlas nak”.
Jawaban Allah
Dua hari berikutnya kami konsul dengan dokter ahli lainnya. Saat itu dokter menyatakan kalau bayi kami sudah tidak berdetak jantungnya dan paru-parunya sudah penuh dengan air. Dokter menyarankan untuk segera dilakukan kuret.
Air mata kami mengalir deras, tapi kali ini bukan karena marah, takut atau kecewa dengan keadaan. Tapi krn kami yakin ini adalah jawaban Allah. Anak kami memilih kembali ke pangkuanNYA karena kami telah merelakannya.
It was our closure and we said goodbye. Meninggal di umur 3.5 bulan, bagi kami bayi ini menjadi anak pertama kami. Kami namai Muhammad Rayyan Putra Gautama (Putra Gautama Penjaga Pintu Surga), dengan harapan kami akan bertemu kembali dengannya di surganya Allah SWT.
Bulan-bulan berikutnya aku lalui dengan mati rasa, tanpa semangat dan sedikit trauma.
Aku masih belum bisa melewati klinik tempat IVF. Menghindari artikel atau acara TV tentang kehamilan atau kelahiran bayi. Rasanya sudah kehilangan keinginan untuk mencoba lagi.
Begin Again
Beberapa bulan kemudian, suami bilang ingin mencoba lagi.
Aku yang saat itu tidak lagi punya kepercayaan diri untuk bisa memiliki anak beberapa kali menyampaikan kalau aku rela seandainya suamiku ingin menikah lagi dan memiliki anak. Aku juga memberikan opsi untuk mengadopsi anak.
Tapi keduanya selalu dia tolak. Suamiku mengatakan keduanya bukan opsi yang akan dia pertimbangkan dan akan menunggu sampai aku siap mencoba lagi.
Bagaimana kalau gagal lagi? “kita coba lagi dan lagi”
Bagaimana kalau tetap gagal lagi? “berarti kita berdua saja happy-happy, travel dan grow old together”
Keteguhannya menyentuh hatiku dan jadi membuat aku berfikir betapa egoisnya aku kalau tidak memberikan kami kesempatan mencoba lagi.
Suamiku tidak memaksa dan bertanya lagi tentang program baby, sampai setelah 6 bulan berikutnya aku sendiri yang menyampaikan keinginanku untuk mencoba kembali.
Suamiku excited dan mulailah kami mencari beberapa informasi klinik-klinik fertilitas.
Program IVF Ketiga di Alpha Fertility Centre
Setelah research sana sini, kami tertarik dengan Alpha Fertility Centre (saat ini dikenali sebagai Alpha IVF) di Malaysia. Track recordnya bagus, achievementsnya luar biasa, testimony nya menarik. Salah satu pioneer dan klinik fertilitas terbaik di asia tenggara. Kami sangat tertarik.
Tapi ini di Malaysia. Bagaimana ya ini? Akan merepotkan harus bolak balik Jakarta – KL, biaya pasti besar kalau di luar negeri, tinggal dimana, gimana buat janjinya, gimana bla bla bla sederet kehawatiran kita.
Lalu kami mendapatkan info tentang Health Facile, yang biasa memfasilitasi pasien Indonesia yang melakukan program IVF di klinik tersebut.
Kami menghubungi Health Facile dan selebihnya proses berjalan smooth.
Mulai dari melakukan perjanjian dokter, menemani kami konsultasi dengan dokter, merekomendasikan tempat kami tinggal selama program, memastikan aku gak terlambat minum obat dan suntik hormone (literally setiap jadwal obat), ikut memberikan saran dll.
Basically seperti punya keluarga di Malaysia. Bayangan kami akan sangat merepotkan untuk melakukan program jauh dari rumah dan keluarga benar-benar terpatahkan dengan bantuan mereka.
Kami juga memutuskan kali ini untuk lebih pasrah dan santai, berhasil atau tidak kami yakin Allah akan beri yang terbaik..no preasure.
Tidak seperti sebelum-sebelumnya, tidak ada effort lebih yang kami lakukan kali ini. Kami makan, santai, bersenang-senang dan lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dari 15 sel telur yang berhasil di pick up, 10 diantara mencapai blastocyst.
Mempertimbangkan riwayat keguguran, kami memutuskan untuk melakukan pemeriksaan genetic (dulunya dipanggil PGS, saat ini dipanggil PGT-A) terhadap embrio-embrio tersebut. Dari 10 hanya 2 embrio yang menunjukan embrio yang sehat.
10 hari setelah Embryo Transfer kami melakukan test kehamilan. Kami tidak berhenti berdoa di meja Dokter sambil menunggu Dr. Leong membacakan hasil lab kami. “Congrats you guys are pregnant”.
Kita sangat happy hampir aja aku peluk dokternya. Kami keluar dari ruang konsultasi dengan senyum terlebar, dan aku diminta membunyikan lonceng di ruang tunggu itu yang menunjukan bahwa kami telah berhasil positif.
Hal ini juga mungkin ditujukan untuk memberikan semangat bagi pasangan lain yang sedang menunggu diruangan itu. Seisi ruangan bertepuk tangan dan ikut berbahagia atas kehamilan kami.
Another Scare
Kami kembali ke Jakarta seminggu kemudian, dan melanjutkan bed rest di Jakarta. Semuanya berjalan lancar dan baik-baik saja sampai di minggu ke 6 siang, aku kembali terbangun dengan perut yang sangat sakit.
Aku pendarahan, syok dan langsung dibawa ke UGD. Ak pendarahan hebat, Dokter Azen OBGYN ku yang biasa ceria dan penuh candapun terdiam, wajahnya tidak bisa menyembunyikan kecemasannya.
Mama yang menemani sudah menangis sejak awal. Bahkan pada keguguran yang sebelumnya, tidak ada darah sebanyak ini.
Aku sudah mulai pasrah berfikir kalau lagi-lagi aku akan kehilangan kandunganku. Tapi suamiku somehow bisa menguatkan aku “Harus yakin, bayi kita In Syaa Allah kuat”.
Ketika dokter memeriksa kandunganku, kami mendengar detak jantungnya. Ya Allah terima kasih somehow walaupun dengan kondisi pendarahanku, bayi kami survive. She’s a fighter.
Selanjutnya aku literally tied to the bed selama 5 hari di rumah sakit, dan lanjut bed rest untuk 2 minggu kedepannya di rumah.
Seperti halnya keluarga, Jake dari Health Facile juga menjenguk kami di rumah sakit.
Meet Kiandra Alifiya Gautama 🙂
Selebihnya kehamilan kami berjalan smooth, dan seminggu sebelum anniversary kami yang ke-10, putri kami yang kami namai “Kiandra Alifiya Gautama” yang berarti keajaiban pertama keluarga Gautama lahir.
Rasanya seperti mimpi, kami tidak berhenti bersyukur hingga saat ini. Butuh 10 tahun, 6 program baby (3 Insem & 3 IVF), 3 keguguran, sebelum bisa mendengar tangisan dan memeluk bayi kecil kami.
Diumur yang tidak lagi muda, disaat kupikir sudah tidak lagi memungkinkan, aku bangga akhirnya punya gelar “mama”. Walaupun dengan proses yang lama dan berliku, kami bersyukur atas keajaiban ini.
Kiandra sekarang genap 4 tahun (2023), gadis cilik yang aktif, ceria, centil…sedikit bossy (she’s cute so she can get away with it hehe).
Pesan Buat Teman
Satu hal yang kami pelajari dan akan kami turunkan kepada Kiandra dan juga sampaikan kepada teman-teman yang kini akan atau sedang berjuang untuk memiliki anak adalah untuk selalu berharap dan tidak menyerah, selalu berusaha karena tidak ada yang mustahil ketika Allah mengijinkannya.
Seorang sahabat mengirimkan quote ini ketika aku berada dititik terbawahku:
“You must be patient. Even if the pains of waiting and wishing and praying tire you, be patient. Even when long periods of time pass by and others are blessed with what they’ve been praying for a while you still wait, be patient. For Allah does not waste the effort of the doers of good. He delays His response only to hear you call to Him more. Be patient. For what awaits you is sweeter that the bitterness of longing” – Via islamicrays
– Untuk Pejuang 2 Garis –
Dari Dhini & Boy Surya Gautama